Thursday, November 13, 2025
spot_img
HomePolitikFisip Unsrat Gandeng JPPR, Bahas Rekonstruksi Demokrasi Lewat Revisi UU Pemilu

Fisip Unsrat Gandeng JPPR, Bahas Rekonstruksi Demokrasi Lewat Revisi UU Pemilu

MANADO, MKS

Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado menjadi tuan rumah Seminar Nasional yang mengangkat tema “Rekonstruksi Demokrasi Melalui
Revisi Undang-Undang Pemilu”, Jumat (14/3/2025). Acara ini berlangsung di Aula Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (Fisip).

Kegiatan ini sebagai kolaborasi antara Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan Pusat Studi Kepemiluan Fisip Unsrat. Dibuka dengan
sambutan Dr Ferry Daud Liando Dekan FISIP Unsrat. Narasumber utama seminar, Rendy Umboh selaku Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

Di hadapan ratusan mahasiswa dan akademisi Kornas Rendy menekankan beberapa substansi untuk menyikapi rencana perubahan UU Pemilu guna penguatan demokrasi. Antara lain keserentakan pemilu, Ambang Batas atau
Parlementary Threshold dan Pemilu Langsung maupun Tidak Langsung.

Terkait Keserentakan Pemilu dirinya mengatakan, dalam konteks keserentakan, jika ingin memisahkan dengan jeda dua tahun, maka hanya Pilkada yang perlu dipisahkan. Pilkada dapat dilaksanakan pada tahun 2030 atau 2031. Sedangkan, pemilihan DPRD Provinsi dan kabupaten kota tetap dilaksanakan pada tahun 2029. Desain keserentakan lokal dan nasional yang berlaku saat ini tetap konstitusional. “Jika pemilihan diselenggarakan secara serentak, baik
lokal maupun nasional, maka akan dilakukan pada tahun yang sama,” ungkap Rendy.

Selanjutnya kaitan dengan ambang batas, Mahkamah Konstitusi (MK) menekankan pentingnya proporsionalitas dalam sistem pemilu untuk mencegah suara yang tidak terkonversi menjadi kursi DPR. Namun, ada kebingungan dalam putusannya mengenai Ambang Batas Parlemen yang terlihat paradoksal. Baginya, menurunkan ambang batas dari 4% ke angka yang lebih rendah tidak menjamin perlindungan terhadap suara pemilih. Sebaliknya, setiap suara dan kursi memiliki makna tersendiri, sehingga argumen tentang ‘suara terbuang’ menjadi kurang relevan. “Sebaliknya, menaikkan Ambang Batas Parlemen dapat menyederhanakan partai politik secara jelas dan terukur, misalnya di rentang 5-7%. Pilihan yang ada adalah menaikkan ambang batas atau menghapuskan sama sekali,” jelas Umboh.

Kemudian dikatakannya, Pilkada yang dilakukan melalui DPRD akan berujung pada kontestasi elit yang berpotensi besar membuka ruang transaksi politik antar elit, sehingga dapat mengakibatkan mundurnya demokrasi (backsliding democracy). Persoalan utama bukanlah pada perubahan sistem, melainkan bagaimana upaya melawan politik uang (money politic), memperketat aturannya dan memperkuat posisi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Oleh karena itu menurutnya, komparasi antara biaya politik pilkada langsung dan pilkada yang dilakukan oleh DPRD menjadi tidak berimbang.
Mekanisme demokrasi langsung dalam pemilihan kepala daerah merupakan amanat reformasi yang linier dengan pemilihan presiden 2004 dan Pilkada pertama pasca reformasi pada Tahun 2005. “Sehingga secara historis makna frasa demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ialah pemilihan langsung oleh rakyat, bukan pemilihan melalui DPRD yang terkesan demokrasi sub kontrak,” urainya. (arfin tompodung)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments