MANADO, MKS
Dibanding unjuk rasa 8 Oktober 2020, saat mengecam omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, jumlah demonstran di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara kali ini, Kamis (20/3/2025), terbilang sedikit. Meski begitu daya ‘rusaknya’ cukup parah.
Massa demonstran yang menolak UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) itu tiba siang jelang sore di kantor DPRD Sulut. Awalnya mereka melakukan orasi di jalan raya depan gedung wakil rakyat tersebut. Kemacetan sempat terjadi. Mereka menahan beberapa kendaraan roda empat cukup lama namun memuluskan perjalanan mikrolet, taksi online dan lainnya, sesuai penilaian mereka. Aksi bakar ban juga dilakukan di tengah jalan.
Selepas berorasi di jalan raya, mereka memutuskan untuk masuk ke kantor DPRD Sulut. Pengamanan polisi ketika itu masih kalah jumlah dari pengunjuk rasa. Ketika berada di halaman DPRD Sulut, beberapa di antaranya langsung naik ke tangga kantor dan mencoba memasuki pintu kaca namun terkunci. Polisi datang memagari dan terjadi aksi saling dorong mendorong antara aparat dan demonstran. Mereka menempelkan poster di pintu dan dinding kaca yang bertuliskan ‘kembalikan militer ke barak’ dan tulisan ‘siapapun yang melupakan kediktatoran orde baru akan dikutuk kediktatoran orde yang palin baru’.
Selanjutnya massa aksi turun dan menerobos lobi kantor DPRD Sulut. Sempat memaksa masuk ke dalam menuju ruang rapat paripurna DPRD Sulut namun ditahan aparat. Beberapa fasilitas di lobi tersebut pun rusak, salah satunya meja kaca yang pecah.
Setelah dari lobi demonstran kembali keluar di tangga kantor DPRD Sulut. Mereka mencoba masuk lewat pintu laca yang tadi tetapi tidak sempat. Karena tak lama kemudian, bantuan aparat polisi tiba untuk menangani massa aksi. Kedatangan ratusan polisi itu membuat pengunjuk rasa pun berbalik keluar dari halaman kantor DPRD Sulut. Mereka sempat mencabut handrail atau besi pegangan pada tangga.
Ketegangan berlanjut ketika kendaraan polisi yang sedang kosong diduduki pengunjuk rasa. Aparat berlarian mengejar demonstran yang menaiki mobil tersebut saat diparkir di depan pintu keluar kantor DPRD Sulut. Terdengar teriakan dari kelompok polisi untuk menangkap mereka yang menguasai mobil tersebut. Beberapa orang di antara massa pun ditangkap dan dibawa masuk ke dalam kantor DPRD Sulut. Pada bagian atas kendaraan itu, salah satu polisi nampak mencoba menangkap seorang demonstran berpakaian putih. Terjadi duel tarik menarik antara keduanya yang akhirnya dilerai Imanuel Tendean salah satu anggota polisi.
Massa aksi selanjutnya menuntut agar aparat kepolisian mengeluarkan rekan-rekan mereka yang ditangkap. Mereka enggan bubar sebelum teman-teman mereka itu dilepaskan. Tak lama berselang, kawan-kawan mereka akhirnya dikeluarkan.
Sampai demonstran keluar dari halaman kantor DPRD Sulut, tak ada satu pun anggota DPRD Sulut yang menerima pengunjuk rasa. Terinformasi, ketika itu anggota dewan sedang dalam masa reses. Pihak sekretariat DPRD Sulut nampak tercengang melihat beberapa fasilitas yang telah rusak.
Dari pihak demonstran menjelaskan, Reformasi 1998 membawa harapan bahwa dominasi militer dalam kehidupan sipil dapat terkurangi yang diperkuat dalam Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) nomor 34 tahun 2004. Di mana ada pembatasan peran TNI dalam bidang pertahanan serta menghapus peran mereka dalam politik. Namun kenyataannya menurut mereka, saat ini praktik Dwifungsi ABRI masih tetap berlangsung dalam bentuk yang terselubung. Adanya revisi UU TNI nomor 34 tahun 2004, justru menghapus batasan-batasan tersebut sehingga membuka peluang untuk mencampuri kehidupan sipil dan melegalkan praktik-praktik dwifungsi ABRI.
Berdasarkan hal tersebut, massa yang tergabung dalam Sulut bergerak menilai terjadinya cacat formil pada penyusunan revisi UU TNI ini. Pertama, proses yang dilewati tidak sesuai dengan rangkaian standar pembentukan RUU. UU TNI pada awalnya tidak termasuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas), tetapi karena terdapat surat Presiden RI (Supres) Nomor R12/Pres/02/2025 menjadi terdaftar dalam Prolegnas prioritas 2025 dan dikebut tanpa alasan yang jelas. Hal ini bertentangan dengan prinsip perencanaan perundang – undangan yang harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Kedua, tidak melibatkan meaningful participation. Proses perumusan RUU tidak melibatkan partisipasi yang berarti dari seluruh elemen masyarakat. Pendapat dan partisipasi rakyat jelas diabaikan dengan dilakukannya proses pembahasan diluar gedung DPR (tertutup dalam hotel) tanpa alasan yang jelas. Kritik dari berbagai elemen masyarakat yang menyoroti legislasi pun diabaikan. Hal ini dapat dilihat dari adanya supers terkait pembahasan RUU TNI – Polri.
Mereka menilai akan ada dampak hal itu terhadap demokrasi dan supremasi sipil yakni meningkatnya represifltas terhadap masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk mengkritik pemerintah. Namun, apabila militer dimerdekakan untuk melakukan fungsi keamanan negara, ada potensi bahwa fungsi militer tersebut dapat digunakan sebagai langkah represif melawan masyarakat dengan dalil “keamanan.”
Dampak berikutnya, akan ada militerisasi birokrasi. Militer dapat menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan. Di mana dapat menyebabkan tergesernya peran teknokrat dan aparatur sipil negara. Hal ini dapat menghambat profesionalisme dan akuntabilitas.
Kemudian bisa terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Presiden memberikan kewenangan penuh dalam mengarahkan dan mengawasi kekuatan militer. Namun, revisi UU TNI 2024 berpotensi melemahkan prinsip ini, dengan menghapus kewenangan Presiden dalam pengarahan dan penggunaan kekuatan TNI sehingga dapat membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
“Hari ini kami di sini untuk menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar Dewan Perwakilan Rakyat itu dapat mencabut revisi Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan oleh DPR RI,” teriak salah satu orator pada saat itu. (at)