MANADO, MKS
Ragam aturan yang diberlakukan pemerintah jadi keluh Solidaritas Nelayan Sulawesi Utara (Sulut). Upaya mencari keadilan dilakukan. Wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut) jadi tumpuan harap.
Komisi II DPRD Sulut dipimpin Inggrid Sondakh pun melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan mengundang stakeholder terkait, Senin (17/2/2025), di ruang rapat komisi II. Rapat tersebut dilakukan dalam rangka menindaklanjuti surat permohonan Solidaritas Nelayan Sulut untuk melakukan rapat bersama Komisi II DPRD Sulut dan stakeholder terkait.
Keluhan nelayan diantaranya penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kemudian masalah pembagian zonasi untuk penangkapan ikan karena setiap kapal harus menangkap sesuai zonanya. Selanjutnya sertifikasi nelayan yang dirasa sulit didapat karena harus membayar untuk mengikutinya. Nelayan di Pulau Lembeh juga merasa ada intimidasi yang dilakukan oknum-oknum dari instansi pengamanan laut. Maka dari itu, pihak nelayan mempertanyakan instansi mana saja yang punya kewenangan karena ada banyak instansi dari pemerintah yang masuk. “Sampai sekarang ada kapal yang ditahan dan harus membayar Rp50 juta,” kata salah satu dari asosiasi nelayan.
Nelayan juga menolak pemasangan alat Vessel Monitoring System (VMS) sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMENKP/2015 karena dianggap hanya mencari-cari kesalahan nelayan. Disamping itu juga, bagi kapal yang tidak pasang VMS ditilang. Ini dipandang para nelayan sebagai ancaman. VMS juga tidak mendeteksi kapal yang hanyut karena kalau kapal hanyut dan keluar dari zona penangkapan, bakal dikenakan denda. “Dia (VMS, red) tidak mengetahui kapal itu hanyut,” kata pihak asosiasi nelayan.
Pihak nelayan berharap, adanya upaya Komisi II DPRD Sulut untuk membantu mereka. Kalau bisa aspirasi ini difasilitasi untuk disampaikan ke Presiden supaya bisa dijawab keluhan mereka.
Dari pihak Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Bitung di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan, setiap akhir tahun memang selalu ada kegaduhan dari pelaku usaha karena berkaitan dengan penarikan PBB. Tapi disebutkan, hitung-hitungan itu memang sudah dari kantor yang ada di pusat dan bukan dari unit yang ada di daerah. Lagi pula dijelaskan, uang itu tidak masuk di daerah melainkan langsung ke negara.
Selanjutnya masalah zonasi, setiap kapal harus menangkap sesuai zonanya. Namun hingga tahun 2025, aturan itu masih belum benar-benar diberlakukan sehingga kapal-kapal masih bisa melakukan penangkapan di luar zona. Masalah kegiatan pelatihan untuk sertifikasi nelayan, mudah-mudahan kebijakan efisensi anggaran tidak menganggu latihan terkait pengadaan sertifikat nelayan. Pihak PPS Bitung mengakui, banyak regulasi yang diatur sehubungan dengan aktivitas nelayan. Namun mereka berupaya untuk berkoordinasi dengan stakeholder lainnya.
Selanjutnya dari pihak Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP menjelaskan mengenai, aturan pemasangan VMS. Diakui Kurniawan dari PSDKP, memang masalah mengenai VMS telah menjadi isu nasional juga. Kurniawan menjelaskan, pemberlakuan VMS ini, bukan hanya dilakukan oleh Indonesia. Namun negara-negara lain juga sudah melakukannya. Baik di negara Eropa, Asia maupun Asia Tenggara.
Lanjut Kurniawan, kebijakan VMS ini bukan baru sekarang namun sudah sejak tahun 2023. Menurutnya, karena aturan mengenai VMS tersebut sudah menjadi produk hukum maka sudah harus dijalankan. “Karena ini produk hukum sehingga menjadi hal yang wajib dilakukan,” ungkap Kurniawan saat RDP Komisi II DPRD Sulut tersebut.
Mendengar persoalan asosiasi nelayan, Anggota DPRD Sulut Jeane Laluyan merasa prihatin. Hal itu karena banyaknya aturan yang melilit aktivitas nelayan. Dirinya meminta kepada pimpinan komisi untuk bisa dilakukan turun lapangan supaya bisa mengetahui masalah yang terjadi di lapangan. “Tapi jangan kemudian dari pemerintah karena torang ada turun ke lapangan, nantinya membalas ke pihak nelayan. Nama-nama yang melapor sudah dicatat dan nanti akan dipersulit. Jangan seperti itu,” tegas Laluyan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Anggota DPRD Sulut, Normans Luntungan, meminta kepada pihak nelayan agar mengumpulkan bukti-bukti di lapangan yang dilakukan oknum-oknum tertentu yang memberatkan nelayan dan dimasukkan ke pemerintah.
Sementara, Ketua Komisi II DPRD Sulut, Ingrid Sondakh, membacakan hasil kunjungan mereka ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Dirinya mengatakan, ketika permohonan asosiasi nelayan masuk ke mereka, pihaknya langsung melakukan kunjungan ke pemerintah pusat dan mendapatkan beberapa penjelasan.
Adapun hasil dari RDP tersebut, Pihak Komisi II memutuskan akan melakukan beberapa tindak lanjut yakni pertama akan melakukan kunjungan di lapangan. Kedua, akan memfasilitasi nelayan untuk bertemu dengan gubernur baru yang akan dilantik. Ketiga, meminta kepada asosiasi nelayan membuat aspirasi resmi mereka yang akan diberikan ke DPR RI. (arfin tompodung)